LOKASI WISATA ZIARAH " MAKAM KI AGENG TARUB ( JOKOTARUB ) " KURANG LEBIH 12 KM KE ARAH TIMUR DARI KOTA PURWODADI, TEPATNYA DI DESA TARUB, KECAMATAN TAWANGHARJO KABUPATEN GROBOGAN.

Jumat, 31 Desember 2010

KIDUNG RUMEKSO ING WENGI

( Ciptaan : SUNAN KALIJAGA )

Ana kidung rumeksa ing wengi,
teguh ayu luputa ing lara,
luputa bilahi kabeh,
jin setan datan purun,
paneluhan tan ana wani,
miwah panggawe ala,
gunane wong luput,
geni anemahan tirta,
maling adoh tan ana ngarah ing kami,
guna duduk pan sirna.

Sakehin lara pan samja bali,
sakehing ama sami miruda,
welas asih pandulune,
sakehing bradja luput,
kadi kapuk tibanireki,
sakehing wisa tawa,
sato kuda tutut,
kayu aeng lemah sangar songing landak,
guwaning mong lemah miring,
mjang pakiponing merak.

Pagupakaning warak sakalir,
nadyan artja mjang sagara asat,
satemah rahayu kabeh,
dadi sarira aju,
ingideran mring widhadari,
rinekseng malaekat,
sakatahing rusuh,
pan dan sarira tunggal,
ati Adam utekku Bagenda Esis,
pangucapku ya Musa.

Napasingun Nabi Isa luwih,
Nabi Yakub pamiyarsaningwang,
Yusuf ing rupaku mangke,
Nabi Dawud swaraku,
Yang Suleman kasekten mami,
Ibrahim nyawaningwang,
Idris ing rambutku,
Bagendali kulitingwang,
Abu Bakar getih,
daging Umar singgih,
balung Bagenda Usman.

Sungsumingsun Fatimah Linuwih,
Siti Aminah bajuning angga,
Ayub minangka ususe,
sakehing wulu tuwuh,
ing sarira tunggal lan Nabi,
Cahyaku ya Muhammad,
panduluku Rasul,
pinajungan Adam syara",
sampun pepak sakatahing para nabi,
dadi sarira tunggal.

Wiji sawiji mulane dadi,
pan apencar dadiya sining jagad,
kasamadan dening Dzate,
kang maca kang angrungu,
kang anurat ingkang nimpeni,
rahayu ingkang badan,
kinarya sesembur,
winacaknaing toja,
kinarya dus rara tuwa gelis laki,
wong edan dadi waras.

Lamun arsa tulus nandur pari
puwasaa sawengi sadina,
iderana gelengane,
wacanen kidung iki,
sakeh ama tan ana wani,
miwah yen ginawa prang
wateken ing sekul,
antuka tigang pulukan,
mungsuhira lerep datan ana wani,
teguh ayu pajudan.

Lamun ora bisa maca kaki,
winawera kinarya ajimat,
teguh ayu penemune,
lamun ginawa nglurug,
mungsuhira datan udani,
luput senjata uwa,
iku pamrihipun,
sabarang pakaryanira,
pan rineksa dening
Yang Kang Maha Suci,
sakarsane tineken.

Lamun ana wong kabanda kaki,
lan kadenda kang kabotan utang,
poma kidung iku bae,
wacakna tengah dalu,
ping salawe den banget mamrih,
luwaring kang kabanda,
kang dinenda wurung,
dedosane ingapura,
wong kang utang sinauran ing Yang Widdhi,
kang dadi waras.

Sing sapa reke arsa nglakoni,
amutiha amawa,
patang puluh dina wae,
Tautanlan tangi wektu subuh,
lan den sabar sukur ing ati,
Insya Allah tineken,
sakarsanireku,
njawabi nak - rakyatira,
saking sawab ing ilmu
pangiket mami,
duk aneng Kalijaga.

JIKA INGIN DOWNLOAD MP3 SILAHKAN KLIK KIDUNG RUMEKSO ING WENGI ATAU SILAHKAN KLIK MACAPAT DANDANGGULA

Jumat, 17 Desember 2010

RITUAL SIRAMAN 10 SURO

Disetiap tahunnya dilaksanakan Ritual rutin yaitu Ritual SIRAMAN 10 SURO ( 10 Muharam ) yang dilaksanakan di sendang telaga Bidadari,yang kon ceritanya Telaga yang dipakai mandi 7 Bidadari dan yang salah satunya adalah Dewi Nawang Wulan tang dipersunting Joko Tarub atau lebih dikenal KI Ageng Tarub.
Acara SIRAMAN tersebut di pandu langsung oleh KRT. ASTONO ADIPURO Juru Kunci Makam Ki Ageng Tarub yang didampingi oleh KRT. PRIYOHADINAGORO dan bapak Daroji Kadus Desa Tarub

Dalam Acara Ritual 10 Suro 1432 H atau tepatnya tanggal 16 Desember 2010 di lokasi Sendang Telaga Bidadari dilaksanakan Ritual SIRAMAN yang dihadiri oleh beberapa pejabat pemerintah Kabupaten Grobogan yang salah satunya Bapak Yudi Kabag Kesbanglinmas, Bapak H. Sutirto Wakil Ketua DPRD Grobogan

Adapun dalam acara ini para peserata Ritual ngalap berkah dari Sendang Telaga Bidadari dengan cara ada yang mandi dan ada yang cukup berwudlu dari air sendang tersebut, banyak juga peserta ritual yang mengambil air sendang tersebut untuk dibawa pulang untuk keluarga yang tidak bisa menikuti acara siraman tersebut.

Selain Sendang Telaga Bidadari yang menjadi tempat utama ritual siraman, di lokasi itu terdapat pula sebuah pohon Randu Alas ( Jawa ) yang sudah berumur ratusan tahun dan growong di pangkal pohon tersebut dan konon menurut kepercayaan masyarakat lubang tersebut bisa dimasuki 10 orang lebih, dan jika ditambah lagipun masih muat

Minggu, 14 November 2010

Kamis, 28 Oktober 2010

WAWASAN DALAM AGAMA

Hukum Bekerja di Bank Menurut Islam
Diarsipkan di bawah: Muamalah — Abu Al Maira @ 2:28 am

Apakah gaji-gaji yang diterima oleh para pegawai bank-bank secara umum ?

Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan [dalam Kitabut Da'wah, Juz I] :

“Tidak boleh bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba karena hal itu berarti membantu mereka di dalam melakukan dosa dan pelanggaran. Sementara Allah telah berfirman “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran” [Al-Ma'idah : 2]

Dan terdapat pula hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara shahih bahwasanya “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya. Beliau mengatakan “Mereka itu sama saja” [Hadits Riwayat Muslim, Kitab Al-Musaqah 1598].”

Selanjutnya, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin mengatakan [dalam Fatawa Syaikh Ibn Utsaimin, Juz II]:

“Bekerja di sana diharamkan karena dua alasan.

Pertama : Membantu melakukan riba

Bila demikian, maka ia termasuk ke dalam laknat yang telah diarahkan kepada individunya langsung sebagaimana telah terdapat hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau : “melaknat pemakan riba, pemberi makan dengannya, penulisnya dan kedua saksinya.

Beliau mengatakan, “Mereka itu sama saja”.

Kedua : Bila tidak membantu, berarti setuju dengan perbuatan itu dan mengakuinya.

Oleh karena itu, tidak boleh hukumnya bekerja di bank-bank yang bertransaksi dengan riba. Sedangkan menyimpan uang disana karena suatu kebutuhan, maka tidak apa-apa bila kita belum mendapatkan tempat yang aman selain bank-bank seperti itu. Hal itu tidak apa-apa dengan satu syarat, yaitu seseorang tidak mengambil riba darinya sebab mengambilnya adalah haram hukumnya.
Sumber :

Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 25-26 Darul Haq



Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan :

Pertanyaan :

“Saya bekerja pada sebuah bank dan ketika saya sudah keluar, barulah saya mengetahui bahwa harta yang telah saya dapatkan darinya, semuanya adalah haram. Bila pernyataan ini benar, apa yang mesti saya perbuat dengan uang tersebut; apakah saya sedekahkan atau bagaimana?”

Kemudian Beliau menjawab:

“Barangsiapa yang mendapatkan harta yang haram dari hasil riba atau selainnya, kemudian dia bertaubat darinya; maka hendaknya dia menyedekahkannya dan tidak memakannya. Atau mengalokasikannya pada proyek kebajikan dengan tujuan untuk melepaskan diri darinya, bukan untuk tujuan mendapatkan pahala sebab ia adalah harta yang haram, sedangkan Allah Ta’ala adalah Maha Suci dan tidak menerima kecuali yang suci (baik-baik). Akan tetapi, pemiliknya ini mengeluarkannya dari kepemilikannya dan mengalokasikannya pada proyek kebajikan atau memberikannya kepada orang yang membutuhkan karena ia (harta tersebut) ibarat harta yang tidak bertuan yang dialokasikan untuk kemashlahatan. Ini semua dengan syarat, dia menghentikan pekerjaan yang haram tesebut dan tidak terus menerus larut di dalamnya.”

(al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 137-138, No. 141)

Dalam kesempatan yang lain, seseorang bertanya kepada Beliau,

“Saya bekerja pada sebuah perusahaan yang mendapatkan fasilitas perbankan dari bank-bank yang bertransaksi dengan riba sekitar 5% dari keuntungan perusahaan. Bagaimana status hukum gaji saya dari perusahaan ini; apakah boleh saya bekerja di sana?, mengingat mayoritas perusahaan-perusahan yang ada beroperasi dengan cara ini.”

Maka beliau menjawab:

“Bertransaksi dengan riba haram hukumnya terhadap perusahaan-perusahaan,bank-bank dan individu-individu. Tidak boleh seorang muslim bekerja pada tempat yang bertransaksi dengan riba meskipun persentase transaksinya minim sekali sebab pegawai/karyawan pada instansi-instansi dan tempat-tempat yang bertransaksi dengan riba berarti telah bekerja sama dengan mereka diatas perbuatan dosa dan melampaui batas. Orang-orang yang bekerja sama dan pemakan riba, sama-sama tercakup dalam laknat yang disabdakan oleh Rasulullah: “Allah telah melaknat pemakan riba, orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, pencatatnya serta kedua saksinya dan pencatatnya”.(HR.Muslim)

Jadi disini, Allah Ta’ala melaknat orang yang memberi makan dengan (hasil) riba, saksi dan pencatat karena mereka bekerja sama dengan pemakan riba itu.

Karenanya wajib bagi anda, wahai saudara penanya, untuk mencari pekerjaan yang jauh dari hal itu. Allah Ta’ala (artinya): “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan menganugerahinya rizki yang tidak dia sangka-sangka”.(Q,.s.ath-Thalaq: 2).

(Dan sabda Nabi- red) artinya: “Dan barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah Ta’ala maka Allah akan menggantikan dengan yang lebih baik darinya”. (HR.Musnad Ahmad).

(al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih al-Fauzan, Jld.IV, Hal. 142-143, No. 148)



Ya apa baiknya kita jadi ulama, dai, kiai dan tokoh agama semua saja. Bagaiman mungkin menyimpan uang di bank halal apabila karena kebutuhan, sedangkan bekerja padanya haram. Apakah bekerja bukan untuk kebutuhan ? Lebih membutuhkan mana orang yang menyimpan uang di bank dan orang yang bekerja di bank untuk mendapatkan nafkah darinya ?

Lalu bagaimana masjid2 yang terlanjur didanai dari orang yang bekerja pada apa yang dikatakan haram itu…? Meskipun kecil…. ?

Kemudian apa bedanya muslim dengan mereka yang mempercayai adanya dosa asal….? Jika apa yang haram selalu dikaitkan tanpa putus, tanpa melihat paradigma dan point of view yang lain…

Abu Al Maira :
Masalah urgensi dalam mencari penghasilan dilihat hanya dari kacamata anda… begitu juga urgensi dalam menyimpan uang di bank… Kemudian anda menganalogikannya dengan masjid yang menerima sumbangan dari uang-uang haram…. Apakah pihak masjid harus bertanya kepada pemberi shadaqah apakah uangnya halal atau tidak…? Apakah pemberi shadaqah bekerja di bank ribawi atau tidak…? Saya rasa tidak demikian…

Kalau memang ada muslim yang memegang pemahaman dosa asal, ya itu terserah mereka…

Yang ditekankan dari literatur di atas adalah agar para kaum muslim menghindari bekerja di bank2 ribawi… seandainya sudah bekerja di sana, ya berikhtiarlah sekuat tenaga mencari pekerjaan lain….

Komentar oleh liyut keren — Agustus 24, 2008 @ 12:24 pm
Balas


subhanallah…
kalo saja masjid mendapatkan sumbangan dari bank…ato bersumber dari harta yang di bilang tidak halal…, maka saya sangat yakin sekali masjid-masjid tersebut segera terselesaikan pembangunannya dan tidak mungkin sampai menaruh kotak sumbangan dijalan-jalan…
tapi fakta yang terjadi, memang masjid selalu mendapatkan sumbangan sangat kecil sekali dan dari uang yang halal….itulah kenyataan yang terjadi…lantas perkara tentang gimana hukum qta pekerja di bank..? bukankah sudah dijelaskan, apa tidak ada tempat bekerja yang lebih baik dan halal ?

Komentar oleh muslim sejati — September 15, 2008 @ 9:13 am
Balas


Kebanyakan orang saat ini memang takut akan tidak mendapatkan penghasilan, tp jgn takut lebih baik uang 100rb yang membawa barokah dari pada 1juta akan membawa sengsara, dan ingat bukan pekerjaan dan manusia yang menjamin hidup kita tapi Allah, maka tdk usah khawatir untuk segera keluar dari lingkaran riba itu karena Allah pasti menggantinya dengan yang lebih baik lagi…PASTI.

Komentar oleh Faizal — Januari 7, 2009 @ 8:32 am
Balas


bagaimana hukumnya bekerja di lembaga pembiayaan seperti di ADIRA finance atau WOM finance? mhon petunjuknya

Abu al Maira :
Ya bekerja di lembaga finance tidak beda hukumnya dengan bekerja di bank-bank konvensional. Ya berusahalah “mencari” pekerjaan lain….

Komentar oleh seputarobat — Mei 28, 2009 @ 7:38 am
Balas


alhmdulillah,dg pnjlasan itu lebh memantpkan sya untk tdk krj d bank.dn mhon d0′a pmbaca smw,sm0ga Allah memberikan pkrja’n yg lbh baik menurtNya untk saya.amin. bgaimana dg pkrj’n tk0 mas?yg biasanya,akn mnguran9i tmbangn emasny,krn tdk slalu pas dg1brg

Abu al Maira :
Ya berusahalah semaksimal mungkin untuk dipaskan, jangan sengaja dikurangi karena takut rugi

Komentar oleh Isti — Juni 20, 2009 @ 7:55 pm
Balas


1. Apakah hukumnya haram apabila bekerja di Bank karena terpaksa dan belum mendapatkan pekerjaan lain selain di Bank? dengan niat akan berpindah jika saya sudah mendapatkan pekerjaan yang baik tsb? Karena saya tidak punya niat jahat dan saya hanya punya niat mencari nafkah untuk menghidupi keluarga
2. Apakah semua transaksi di Bank itu semuanya haram?
Mohon pencerahannya?

Abu al Maira :

1. Pada dasarnya bekerja di bank ribawi adalah haram. Mengenai keterpaksaan, perlu dilihat sampai sejauh mana keterpaksaan tersebut. Biasanya, sangat jarang terjadi orang yang terpaksa bekerja di bank kemudian pindah kerja karena faktor kenyamanan.

2. Yang diharamkan adalah transaksi yang mengandung unsur-unsur riba.

Allahu ‘alam

Komentar oleh Agung — September 19, 2009 @ 10:29 am
Balas


Assalaamualaikum…Apakah ada bank yang tidak menjalankan transaksi yang mengandung riba?…soalnya saya ingin bekerja di bank..mohon bantuannya…

Abu al Maira :

Alaikumussalam warahmatullah…

Kalo bank konvensional, sudah mutlak haramnya. Kalau bank syariah, harus dikaji dulu bagaimana system yang mereka jalankan.

Allahu ‘alam

Komentar oleh Andriana — Oktober 8, 2009 @ 11:46 am
Balas


Selama kita berusaha dengan sunggug-sungguh Insya Allah masih banyak lapangan kerja lain yang tidak kalah menjanjikan dengan bank. Hidup di dunia hanya sementara…kebahagiaan akhirat yang kita damba… Semoga Allah selalu membimbing kita agar tidak terjebak ke dalam jerat-jerat yang menyesatkan. Dunia memang terlalu indah untuk melenakan…Hanya kepada Allah tempat kita memohon perlindungan.

Komentar oleh ifaza — Oktober 26, 2009 @ 9:10 am
Balas


terlalu kaku pembahasnnya coba baca disini bisa membuat dan memperluas cakrawala tentangn hukum dibahas oleh yusuf alqordawi. http://media.isnet.org/islam/Qardhawi/Kontemporer/KerjaDiBank.html

Abu al Maira :
Kaku dalam konteks apa Pak Luthfi. Kaku karena syariat dengan tegas tidak mengizinkan seorang muslim bekerja dengan bank ribawi…??

Jika kita bekerja di bank ribawi, apakah kita sudah berusaha maksimal untuk mencari pekerjaan lain…?? Apakah jika ada tawaran bekerja di tempat lain, lantas kita menolak karena gaji yang ditawarkan tidak sesuai keinginan kita…??

Komentar oleh lutfi — Desember 6, 2009 @ 2:43 pm
Balas


Subhanalloh, 10 tahun saya bekerja di bank dan akhirnya kuputuskan untuk keluar dari kantor ribawi itu. Semoga Alloh mengampuni dosa hamba-Nya yang satu ini. Memang berat tantangan keimanan ini. Betapa tidak, mulai orang tua, istri, mertua menentang keputusan saya. Tidak ada kata darurat dalam mencari rizki di bank yang jelas-jelas HARAM. Hanya makan bangkai dan daging babilah yang diperbolehkan kalau benar-benar emergency. Sementara tidak ada satu ayat pun yang memperkenankan bekerja di tempat haram hanya persoalan darurat. Saya berhusnudzon kepada Alloh yang akan mengganti pekerjaan saya selama ini dengan yang lebih baik. Allohu Akbar 3x

Abu al Maira :

Subhanallahi wal hamdulillahi wa barakallahu fiik…

Komentar oleh Yudi Setyo Prayogo — Desember 15, 2009 @ 7:53 pm
Balas


assalamu’alaikum.wr.wb.
maaf, ijin copas yaa.
terima kasih ^_^

Komentar oleh juzt — April 25, 2010 @ 2:40 pm
Balas


assalamu alaikum, saya skrg masih bekerja di bank sbg security, apakah ini haram? dan bgmn dgn kondisi sy yg ingin hijrah namun setelah kecelakaan tangan sy cacat yg pastinya sulit mendapatkan pekerjaan di kantoran lagi. trima kasih atas pencerahannya

Abu al Maira :

Alaikumussalaam warahmatullah…

Berusahalah untuk mencari pekerjaan lain yang halal pak…. Sulitnya mencari pekerjaan kan menurut pandangan kita….

Bukankah Allah yang memberikan kita rizkiNya pak? Walaupun menurut kita kondisi kita tidak memungkinkan, maka tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah pak…

Percayalah, berusaha dan berdoa, insya Allah ada jalan….

Komentar oleh andry abadi utama — April 29, 2010 @ 3:08 pm
Balas


Assalamu’alaikum. Saya bekerja di Bank sudah 13 tahun dan sekarang saya sudah berhenti namun yang menjadi pertanyaan saya adalah? Semua harta yang ada saat ini saya dapatkan dari hasil bekerja di Bank seperti Rumah, Kenderaan, dan lain-lain dan juga uang pesangon saya dari Bank, bagaimanakah setatusnya ?

Kalau ternyata haram ? Bolehkah kita menggunakannya untuk modal usaha dengan niat setelah kita dapat penghasillan baru kita memberikan harta tersebut untuk fasilitas umum.

Abu al Maira :

Alaikumussalaam warahmatullah….

Pada asalnya harta yang berasal dari riba adalah haram.

Untuk kasus anda…. Maaf saya tidak bisa menjawab… Allahu ‘alam…. Tanyakan kepada yang lebih mengetahui….

Komentar oleh Handoko — Juni 4, 2010 @ 10:07 pm
Balas


assalaamu’alaykum..
bagaimana hukumnya meminjam uang untuk usaha di bank konvensional dan bank syariah?

Abu al Maira :

Alaikumussalaam warahmatullah

Selama bebas riba maka halal…. kemudian, adakah bank konvensional yang bebas riba ? Dan adakah bank syariah yang murni syariah ? atau minimal sekali kita mengerti kaidah riba sebelum melakukan peminjaman….

Komentar oleh fitri — Juni 22, 2010 @ 12:40 pm
Balas


Masak zaman sekarang ada bank yang mau memberi pinjaman tanpa minta bunga? Klo menurut saya klo yang meminjam dan bank sama-sama setuju dengan bunganya kan gak ada masalah. Karena sudah saling terbuka. Klo menabung di bank juga haram berarti semua orang di dunia ini sebagian besar makan uang haram semua. PNS aza pembayaran gajinya lewat bank. Otomatis juga ada bunganya. Semuanya itu sama aza tergantung niat si pelaku. Jangan buat perbedaan ini menjadi masalah yang besar. Karena hal yang halal aza klo niatnya jelek juga jadi haram. Berfikirlah lebih terbuka. Karena kita hidup bukan di negara islam tetapi negara umum. Klo di negara islam, hukum ini bisa berjalan. Tapi klo di INDONESIA 99% tdk akan mungkin jalan.

Abu al Maira :

Kalau anda datang ke renternir untuk pinjam uang dengan sistem riba/bunga, toh dua2nya sama2 ikhlas bukan….?? Lantas apakah kalau anda ikhlas membayar bunga/riba kepada renternir dan renternir juga ikhlas meminjamkan uang kepada anda lantas hukum syariat berubah dari haram menjadi halal…??

Yang diharamkan adalah mengambil riba/bunga. Kalau saya terima gaji via bank tapi bunga bank tidak saya sentuh, ya halal2 saja… Atau saya transfer uang lewat bank, ya sah2 saja… Bahkan dahulu Nabi dan para sahabat juga bermuamalah dengan Yahudi yang notabene Yahudi adalah kaum yang memakai sistem riba dalam perdagangan/muamalahnya. Tapi apakah Nabi dan para sahabat lantas ikut2an dengan sistem riba…?? TENTU SAJA TIDAK…

Untuk meninggalkan riba, kita tidak harus tinggal di Arab Pak… Cukup tinggal di Indonesia, tinggalkan praktek ribawi… selesai deh…..

Cobalah lebih terbuka mengenal dan mempelajari syariat…

Komentar oleh Tsani — September 18, 2010 @ 2:24 pm
Balas


salam,
bagaimana ttg Gramen Bank bangladesh… mereka dapat nobel prize karena bisa menghapuskan kemiskinan di dunia… kurasa mulia sekali tapi ada bunyi bank gitu… hehehe…

Abu al Maira ;

Alaikumussalaam….

Selama ada bank tidak berbisnis ribawi atau muamalah yg melanggar syariah, ya sah2 saja…..

Tapi seperti apakah bank bangladesh itu ? kalau masih bisnis riba ya sama saja apapun moto dan visinya…

Komentar oleh Ridha Maasir — Juli 8, 2010 @ 8:41 pm
Balas


Assalamualaykum wr. wb
Saya lulusan SMA. Setelah lulus, saya melanjutkan studi di salah satu universitas negeri di Yogyakarta. Oleh pihak universitas saya diajukan untuk memperoleh beasiswa dari Departemen Pendidikan yang diperuntukkan bagi siswa yang pada saat SMA memiliki prestasi di tingkat nasional dan juga tidak mampu. Karena, saya memang tidak memiliki biaya untuk kuliah, saya ikuti saja. Permasalahannya adalah, pemerintah dalam hal ini bekerja sama dengan sebuah bank konvensional dalam pendanaannya. Padahal, salah satu bentuk beasiswanya itu berupa uang bulanan? apakah uang bulanan ini haram? kemudian, setelah lulus kuliah, saya diwajibkan bekerja di bank itu. Ini jelas tidak boleh. Saya harus bagaimana? saya benar2 tidak punya biaya untuk kuliah. Mohon sarannya.

Abu al Maira :

Alaikumussalaam warahmatullah….

kalau anda mau memilih jalan selamat, tolaklah beasiswa tersebut….

Terlebih lagi anda harus berjanji untuk bekerja di bank tersebut yang notabene anda akan bekerja di lembaga ribawi…

Komentar oleh Rahmatdi — Juli 22, 2010 @ 5:59 am
Balas


jd apa hukumnya menabung n bertransaksi di bank konvensional???

Abu al Maira :

menabung di bank konvensional tanpa mengambil imbalan bunga bank/riba menurut pendapat jumhur adalah halal….

Adapun menggunakan jasa keuangan bank konvensional dalam hal transaksi keuangan sperti transfer dan semacamnya yang terbebas dari praktek ribawi adalah halal…

Komentar oleh wahid — September 5, 2010 @ 9:28 pm
Balas


ooo, ada yg bpendpat kl memang haram knp amp sekarag MuI n Depag nyaranin jema’ah haji tetap pake jasa mreka???kan tlg menolong dlm keburukan critanya kl gt…

Abu al Maira :

Memakai jasa kan bukan berarti ta’awwun mas… Nabi dan sahabat dulu juga bermuamalah dengan yahudi yang notabene yahudi adalah kaum yang akrab menjalankan praktek ribawi….

jadi harap dibedakan antara memakai/membeli jasa dengan ber-ta’awwun ,,,,

Komentar oleh wahid — September 5, 2010 @ 9:39 pm
Balas


Assalamualaikum..saya sudah 7 tahun bekerja di bank sampai saat ini masih..sudah 3x saya minta resign tp ditolak..jika sy resign tdk sesuai prosedur mk sy tdk mendpt pesangon.padahal sy memiliki pinjaman diBANK tmpt sy bekerja,jika tdk mendpt pesangon mk sy tdk dpt melunasi pinjaman tsb.mohon pencerahannya.?

Abu al Maira :

‘Alaikumussalaam warahmatullah

Berusahalah semaksimal mungkin…. Toh tidak hanya dengan pesangon anda dapat melunasi hutang2 anda, minta tolonglah kepada Allah agar anda dimudahkan untuk melunasi hutang2 anda….

Komentar oleh Nugroho — September 13, 2010 @ 2:56 pm

Senin, 11 Oktober 2010

Do’a, Bacaan Al-Qur’an, Shadaqoh & Tahlil untuk Orang Mati

Apakah do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh itu pahalanya akan sampai kepada orang mati? Dalam hal ini ada segolongan yang yang berkata bahwa do’a, bacaan Al-Qur’an, tahlil dan shadaqoh tidak sampai pahalanya kepada orang mati dengan alasan dalilnya, sebagai berikut:

وَاَنْ لَيْسَ لِلْلاِءنْسنِ اِلاَّ مَاسَعَى

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dia kerjakan”. (QS An-Najm 53: 39)

Juga hadits Nabi MUhammad SAW:

اِذَامَاتَ ابْنُ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ اَوْوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ

“Apakah anak Adam mati, putuslah segala amal perbuatannya kecuali tiga perkara; shadaqoh jariyah, ilmu yang dimanfa’atkan, dan anak yang sholeh yang mendo’akan dia.”

Mereka sepertinya, hanya secara letterlezk (harfiyah) memahami kedua dalil di atas, tanpa menghubungkan dengan dalil-dalil lain. Sehingga kesimpulan yang mereka ambil, do’a, bacaan Al-Qur’an, shadaqoh dan tahlil tidak berguna bagi orang mati. Pemahaman itu bertentangan dengan banyak ayat dan hadits Rasulullah SAW beberapa di antaranya :

وَالَّذِيْنَ جَاءُوْامِنْ بَعْدِ هِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَااغْفِرْلَنَا وَلاِءخْوَنِنَاالَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِاْلاِءْيمن

“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)

Dalam hal ini hubungan orang mu’min dengan orang mu’min tidak putus dari Dunia sampai Akherat.

وَاسْتَغْفِرْلِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنتِ

“Dan mintalah engkau ampun (Muhammad) untuk dosamu dan dosa-dosa mu’min laki dan perempuan.” (QS Muhammad 47: 19)

سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِىَّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَارَسُوْلَ اللهِ اِنَّ اُمِى مَاتَتْ افَيَنْفَعُهَا اِنْ تَصَدَّقْتَ عَنْهَا ؟ قَالَ نَعَمْ

“Bertanya seorang laki-laki kepada Nabi SAW; Ya Rasulullah sesungguhnya ibu saya telah mati, apakah berguna bagi saya, seandainya saua bersedekah untuknya? Rasulullah menjawab; yaa berguna untuk ibumu.” (HR Abu Dawud).

Dan masih banyak pula dalil-dalil yang memperkuat bahwa orang mati masih mendapat manfa’at do’a perbuatan orang lain. Ayat ke 39 Surat An-Najm di atas juga dapat diambil maksud, bahwa secara umum yang menjadi hak seseorang adalah apa yang ia kerjakan, sehingga seseorang tidak menyandarkan kepada perbuatan orang, tetapi tidak berarti menghilangkan perbuatan seseorang untuk orang lain.

Di dalam Tafsir ath-Thobari jilid 9 juz 27 dijelaskan bahwa ayat tersebut diturunkan tatkala Walid ibnu Mughirah masuk Islam diejek oleh orang musyrik, dan orang musyrik tadi berkata; “Kalau engkau kembali kepada agama kami dan memberi uang kepada kami, kami yang menanggung siksaanmu di akherat”.

Maka Allah SWT menurunkan ayat di atas yang menunjukan bahwa seseorang tidak bisa menanggung dosa orang lain, bagi seseorang apa yang telah dikerjakan, bukan berarti menghilangkan pekerjaan seseorang untuk orang lain, seperti do’a kepada orang mati dan lain-lainnya.

Dalam Tafsir ath-Thobari juga dijelaskan, dari sahabat ibnu Abbas; bahwa ayat tersebut telah di-mansukh atau digantikan hukumnya:

عَنِ ابْنِى عَبَّاسٍ: قَوْلُهُ تَعَالى وَأَنْ لَيْسَ لِلاِءنْسنِ اِلاَّ مَا سَعَى فَأَنْزَلَ اللهُ بَعْدَ هذَا: وَالَّذِيْنَ أَمَنُوْاوَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِيَتُهُمْ بِاِءْيمنٍ أَلْحَقْنَابِهِمْ ذُرِيَتَهُمْ فَأَدْخَلَ اللهُ الأَبْنَاءَ بِصَلاَحِ اْلابَاءِاْلجَنَّةَ

“Dari sahabat Ibnu Abbas dalam firman Allah SWT Tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakan, kemudian Allah menurunkan ayat surat At-Thuur; 21. “dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka, maka Allah memasukkan anak kecil ke surga karena kebaikan orang tua.”

Syaekhul Islam Al-Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Majmu’ Fatawa jilid 24, berkata: “Orang yang berkata bahwa do’a tidak sampai kepada orang mati dan perbuatan baik, pahalanya tidak sampai kepada orang mati,” mereka itu ahli bid’ah, sebab para ulama’ telah sepakat bahwa mayyit mendapat manfa’at dari do’a dan amal shaleh orang yang hidup.

KH Nuril Huda
Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Tawassul Apakah Bukan Termasuk Syirik?

Seorang pembaca NU Online menanyakan fasal tentang tawassul atau mendoakan melalui perantara orang yang sudah meninggal. "Apakah bertawasul/berdo'a dengan perantaraan orang yang sudah mati hukumnya haram atau termasuk syirik karena sudah meminta kepada sang mati (lewat perantaraan)? Saya gelisah, karena amalan ini banyak dilakukan oleh masyarakat di Indonesia. Apalagi dilakukan sebelum bulan Ramadhan dengan mengunjungi makam-makam wali dan lain-lain sehingga untuk mendo'akan orang tua kita yang sudah meninggal pun seakan terlupakan," katanya.

Perlu kami jelaskan kembali bahwa tawassul secara bahasa artinya perantara dan mendekatkan diri. Disebutkan dalam firman Allah SWT:

يآأَيُّهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, " (Al-Maidah:35).

Pengertian tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat muslim selama ini bahwa tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT. Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa.

Banyak sekali cara untuk berdoa agar dikabulkan oleh Allah SWT, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan didahului bacaan alhamdulillah dan shalawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar doa yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah SWT . Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul kepada Allah SWT dengan perantaraan amal sholeh, sebagaimana orang melaksanakan sholat, puasa dan membaca Al-Qur’an. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam hadits sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam gua, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya; yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya; dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.

Adapun yang menjadi perbedaan di kalangan ulama adalah bagaimana hukumnya bertawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di mata Allah SWT. Sebagaimana ketika seseorang mengatakan: “Ya Allah SWT aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad SAW atau Abu Bakar atau Umar dll”. Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.

Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), adalah tawassul pada amal perbuatannya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’. Pendapat ini berargumen dengan prilaku (atsar) sahabat Nabi SAW:

عَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ إِنَّ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوْا اسْتَسْقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَلِّبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إَلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتُسْقِيْنَا وَإِنَّا نَنَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَافَيَسْقُوْنَ. أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137

“Dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Umar berkata: "Ya Allah, kami telah bertawassul dengan Nabi kami SAW dan Engkau beri kami hujan, maka kini kami bertawassul dengan Paman Nabi kita SAW, maka turunkanlah hujan..”. maka hujanpun turun.” (HR. Bukhori)

Imam Syaukani mengatakan bahwa tawassul kepada Nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang shaleh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para sahabat. "Ketahuilah bahwa tawassul bukanlah meminta kekuatan orang mati atau yang hidup, tetapi berperantara kepada keshalihan seseorang, atau kedekatan derajatnya kepada Allah SWT, sesekali bukanlah manfaat dari manusia, tetapi dari Allah SWT yang telah memilih orang tersebut hingga ia menjadi hamba yang shalih, hidup atau mati tak membedakan atau membatasi kekuasaan Allah SWT, karena ketakwaan mereka dan kedekatan mereka kepada Allah SWT tetap abadi walau mereka telah wafat."

Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah SWT menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintai-Nya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut. Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah SWT bisa memberi manfaat dan madlarat kepadanya. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlarat, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlarat sesungguhnya hanyalah Allah SWT semata.

Jadi kami tegaskan kembali bahwa sejatinya tawassul adalah berdoa kepada Allah SWT melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah SWT. Tawassul hanyalah merupakan pintu dan perantara dalam berdoa untuk menuju Allah SWT. Maka tawassul bukanlah termasuk syirik karena orang yang bertawasul meyakini bahwa hanya Allah-lah yang akan mengabulkan semua doa. Wallahu a’lam bi al-shawab.

H M. Cholil Nafis
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU

Doa-doa Istighotsah

Berikut ini adalah doa-doa yang dibaca dalam istighotsah, sebagaimana dalam buku “Panduan Praktis Istighotsah” oleh Pengurus Pusat Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU):

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

الفَاتِحَة x1

(Surat Al-Fatihah)

أسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ x3

Saya mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِا للهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ x3

Tiada daya untuk menjauhi maksiat kecuali dengan pemeliharaan Allah dan tiada kekuatan untuk melakukan ketaatan kecuali dengan pertolongan Allah

أللَّهُمَّ صَلِّي عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ x3

Ya Allah. Limpahkanlah rahmat dan kemuliaan kepada junjungan kami Nabi Muhammad berserta keluarganya

لَا إلهَ إلَّا أنْتَ سُبْحَانَكَ إنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ x40

Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Engkau, Maha Suci Engkau, Sungguh aku termasuk orang-orang yang telah berbuat dzalim

يَا اَللهُ يَا قَدِيْمُ x33

Wahai Allah, wahai Dzat yang ada tanpa permualaan

يَا سَمِيْعُ يَا بَصِيْرُ x33

Wahai Allah, wahai Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat

يَا مُبْدِعُ يَا خَالِقُ x33

Wahai Dzat yang mewujudkan sesuatu dari tidak ada, wahai Dzat Yang Maha Pencipta

يَا حَفِيْظُ يَا نَصِيْرُ يَا وَكِيْلُ ياَ اللهُ x33

Wahai Dzat yang memelihara dari keburukan dan kebinasaan, wahai Dzat Yang Maha Menolong, wahai Dzat yang menjamin rizki para hamba dan mengetahui kesulitan-kesulitan hamba, ya Allah

يَا خَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أسْتَغِيْثُ x33

Wahai Dzat Yang Hidup, yang terus menerus mengurus makhluknya, dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan-MU

يَا لَطِيْفُ x41

Wahai Dzat yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

أسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ إنَّهُ كَانَ غَفَّارًا x33

Aku mohon ampung kepada Allah Yang Maha Agung, sunggu Allah Dzat Yang Maha Pengampun

أللَّهُمَّ صَلِّي عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ قَدْ ضَاقَتْ حِيْلَتِي أدْرِكْنِي

يَا اَللهُ x3

Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan kemuliaan kepada junjungan kami Nabi Muhammad, sungguh telah habis daya dan upayaku maka tolonglah kami, Ya Allah Ya Allah Ya Allah

أللّهُمَّ صَلِّي صَلَاةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلَامًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ الّذِي تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِيْ كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ x1

Ya Allah, limpahkanlah shalawat yang sempurna dan curahkanlah salam kesejahteraan yang penuh kepada junjungan kami Nabi Muhammad, yang dengan sebab beliau semua kesulitan dapat terpecahkan, semua kesusahan dapat dilenyapkan, semua keperluan dapat terpenuhi, dan semua yang didambakan serta husnul khatimah dapat diraih, dan berkat dirinya yang mulia hujanpun turun, dan semoga terlimpahkan kepada keluarganya serta para sahabatnya, di setiap detik dan hembusan nafas sebanyak bilangan semua yang diketahui oleh Engkau


يَا بَدِيْعُ x41

Wahai Dzat yang menciptakan makhluk tanpa ada contoh sebelumnya

حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ x33

Cukup bagi kami Allah, dan Dia sebaik-baik penolong

يس x1

(Surat Yasiin)

اللهُ أكْبَرُ يَا رَبَّنَا وَإلَهَنَا وَسَيِّدَنَا أنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ x3

Allah maha besar maha mulia, Wahai Tuhan kami, sesembahan kami, tuan kami, Engkau-lah penolong kami, menangkan kami atas orangorang kafir

حَصَّنْتُكُمْ بِالْحَيِّ الْقَيُّوْمِ الَّذِيْ لَا يَمُوْتُ أبَدًا وَدَفَعْتُ عَنْكُمُ السُّوْءَ بِألْفِ ألْفِ ألْفِ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِا للهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ x3

Aku mohonkan pemeliharaan untuk kalian kepada Dzat yang maha hidup dan terus menerus mengatur hamba-Nya yang tidak pernah mati selamanya, dan aku tolak dan hindarkan dari kalian segala keburukan dengan sejuta bacaan “La haula wa la quwwata illa billahil aliyyil adzim”

الْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أنْعَمَ عَلَيْنَا وَهَدَانَا عَلَى دَيْنِ الإسْلَامِ x3

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kita nikmat dan petunjuk kepada agama Islam

بِسْمِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ لَا يَسُوْقُ الْخَيْرَ إلَّا اللهِ بِسْمِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ لَا يَصْرِفُ السُّوْءَ إلَّا اللهُ بِسْمِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ مَا كَانَ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ بِسْمِ اللهِ مَاشَاءَ اللهُ لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِا للهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ x1

Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, tidak ada yang mendatangkan kebaikan kecuali la. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, tidak ada yang menyingkirkan keburukan kecuali la. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, tidak ada kenikmatan melainkan dari Allah. Dengan nama Allah yang segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, tiada daya untuk berbuat kebaikan kecuali dengan pertolongan Allah dan tiada kekuatan untuk menghindar dari perbuatan maksiat kecuali dengan perlindungan Allah yang maha Mulia dan maha agung

سَألْتُكَ يَا غَفَّارُ عَفْوًا وَتَوْبَةً وَبِالْقَهْرِ يَا قَهَّارُ خُذْ مَنْ تَحَيَّلَا x3

Ya Allah, aku memohon ampunan dan taubat yang diterima kepada-Mu Ya Allah yang maha pengampun, dan dengan kekuatan dan kekuasaan-Mu Wahai Dzat yang maha mengalahkan, tundukkan dan hukumlah orang yang melakukan tipu muslihat dan ingin mencelakai kami

يَا جَبَّارُ يَا قَهَّارُ يَا ذَا الْبَطْشِ الشَّدِيْدِ خُذْ حَقَّنَا وَحَقَّ الْمُسْلِمِيْنَ مِمَّنْ ظَلَمَنَا وَالْمُسْلِمِيْنَ وَتَعَدَّى عَلَيْنَا وَعَلَى الْمُسْلِمِيْنَ x3

Wahai Dzat yang maha mengalahkan, maha menundukkan, Dzat yang keras azab-Nya, ambilkan hak-hak kami dan hak-hak umat Islam dari orang-orang yang menzhalimi kami dan menzhalimi umat Islam, yang telah menganiaya kami dan menganiaya umat Islam

الفَاتِحَة x1

(Surat Al-Fatihah)

التَّهْلِيْل

(Bacaan tahlil lengkap...)

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

Merayakan Maulid Nabi SAW (2)

Jika sebagian umat Islam ada yang berpendapat bahwa merayakan Maulid Nabi SAW adalah bid’ah yang sesat karena alasan tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw sebagaimana dikatakan oleh beliau:

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ. رواه أبو داود والترمذي

Hindarilah amalan yang tidak ku contohkan (bid`ah), karena setiap bid`ah menyesatkan. (HR Abu Daud dan Tarmizi)

Maka selain dalil dari Al-Qur’an dan Hadits Nabi tersebut, juga secara semantik (lafzhi) kata ‘kullu’ dalam hadits tersebut tidak menunjukkan makna keseluruhan bid’ah (kulliyah) tetapi ‘kullu’ di sini bermakna sebagian dari keseluruhan bid’ah (kulli) saja. Jadi, tidak seluruh bid’ah adalah sesat karena ada juga bid’ah hasanah, sebagaimana komentar Imam Syafi’i:

المُحْدَثَاتُ ضَرْباَنِ مَاأُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتاَباً أَوْسُنَّةً أَوْأَثَرًا أَوْإِجْمَاعًا فَهَذِهِ بِدْعَةُ الضَّلاَلِ وَمَاأُحْدِثَ مِنَ الخَيْرِ لاَيُخَالِفُ شَيْئاً مِنْ ذَالِكَ فَهِيَ مُحْدَثَةٌ غَيْرَ مَذْمُوْمَةٍ

Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) ada dua macam: Sesuatu yang diada-adakan (dalam agama) bertentangan dengan Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, prilakuk sahabat, atau kesepakatan ulama maka termasuk bid’ah yang sesat; adapun sesuatu yang diada-adakan adalah sesuatu yang baik dan tidak menyalahi ketentuan (al Qur’an, Hadits, prilaku sahabat atau Ijma’) maka sesuatu itu tidak tercela (baik). (Fathul Bari, juz XVII: 10)

Juga realitas di dunia Islam dapat menjadi pertimbangan untuk jawaban kepada mereka yang melarang maulid Nabi SAW. Ternyata fenomena tradisi maulid Nabi SAW itu tidak hanya ada di Indonesia, tapi merata di hampir semua belahan dunia Islam. Kalangan awam diantara mereka barangkali tidak tahu asal-usul kegiatan ini. Tetapi mereka yang sedikit mengerti hukum agama berargumen bahwa perkara ini tidak termasuk bid`ah yang sesat karena tidak terkait dengan ibadah mahdhah atau ritual peribadatan dalam syariat.

Buktinya, bentuk isi acaranya bisa bervariasi tanpa ada aturan yang baku. Semangatnya justru pada momentum untuk menyatukan semangat dan gairah ke-islaman. Mereka yang melarang peringatan maulid Nabi SAW sulit membedakan antara ibadah dengan syi’ar Islam. Ibadah adalah sesuatu yang baku (given/tauqifi) yang datang dari Allah SWT, tetapi syi’ar adalah sesuatu yang ijtihadi, kreasi umat Islam dan situasional serta mubah.

Perlu dipahami, sesuatu yang mubah tidak semuanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Imam as-Suyuthi mengatakan dalam menananggapi hukum perayaan maulid Nabi SAW:

وَالجَوَابُ عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ المَوْلِدِ الَّذِيْ هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَأَةُ مَاتَيَسَّّرَ مِنَ القُرْآنِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَأِ أَمْرِالنَّبِيّ صَلَّّىاللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّّمَ مَاوَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الاَياَتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَهُ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَالِكَ مِنَ البِدَعِ الحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيْ صََلََّى اللهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِالفَرَحِ وَالِاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ

Menurut saya asal perayaan maulid Nabi SAW, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan hidupnya. Kemudian dihidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu tergolong bid’ah hasanah(sesuatu yang baik). Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhamad saw yang mulia. (Al- Hawi Lil-Fatawa, juz I, h. 251-252)

Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah SAW.”

Pendapat Abu Shamah (guru Imam Nawawi): ”Termasuk hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah saw. dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua berikut menyantuni fakir miskin adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam semesta”.

Untuk menjaga agar perayaan maulid Nabi SAW tidak melenceng dari aturan agama yang benar, sebaiknya perlu diikuti etika-etika berikut:

1. Mengisi dengan bacaan-bacaan shalawat kepada Rasulullah SAW.
2. Berdzikir dan meningkatkan ibadah kepada Allah SWT.
3. Membaca sejarah Rasulullah SAW dan menceritakan kebaikan-kebaikan dan keutamaan-keutamaan beliau.
4. Memberi sedekah kepada yang membutuhkan atau fakir miskin.
5. Meningkatkan silaturrahim.
6. Menunjukkan rasa gembira dan bahagia dengan merasakan senantiasa kehadiran Rasulullah SAW di tengah-tengah kita.
7. Mengadakan pengajian atau majlis ta’lim yang berisi anjuran untuk kebaikan dan mensuritauladani Rasulullah SAW.

HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

Merayakan Maulid Nabi SAW (1)

Memang Rasulullah SAW tidak pernah melakukan seremoni peringatan hari lahirnya. Kita belum pernah menjumpai suatu hadits/nash yang menerangkan bahwa pada setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal (sebagian ahli sejarah mengatakan 9 Rabiul Awwal), Rasulullah SAW mengadakan upacara peringatan hari kelahirannya. Bahkan ketika beliau sudah wafat, kita belum pernah mendapati para shahabat r.a. melakukannya. Tidak juga para tabi`in dan tabi`it tabi`in.

Menurut Imam As-Suyuthi, tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah saw ini dengan perayaan yang meriah luar biasa adalah Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kukburi ibn Zainuddin Ali bin Baktakin (l. 549 H. - w.630 H.). Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini. Intinya menghimpun semangat juang dengan membacakan syi’ir dan karya sastra yang menceritakan kisah kelahiran Rasulullah SAW.

Di antara karya yang paling terkenal adalah karya Syeikh Al-Barzanji yang menampilkan riwayat kelahiran Nabi SAW dalam bentuk natsar (prosa) dan nazham (puisi). Saking populernya, sehingga karya seni Barzanji ini hingga hari ini masih sering kita dengar dibacakan dalam seremoni peringatan maulid Nabi SAW.

Maka sejak itu ada tradisi memperingati hari kelahiran Nabi SAW di banyak negeri Islam. Inti acaranya sebenarnya lebih kepada pembacaan sajak dan syi`ir peristiwa kelahiran Rasulullah SAW untuk menghidupkan semangat juang dan persatuan umat Islam dalam menghadapi gempuran musuh. Lalu bentuk acaranya semakin berkembang dan bervariasi.

Di Indonesia, terutama di pesantren, para kyai dulunya hanya membacakan syi’ir dan sajak-sajak itu, tanpa diisi dengan ceramah. Namun kemudian ada muncul ide untuk memanfaatkan momentum tradisi maulid Nabi SAW yang sudah melekat di masyarakat ini sebagai media dakwah dan pengajaran Islam. Akhirnya ceramah maulid menjadi salah satu inti acara yang harus ada, demikian juga atraksi murid pesantren. Bahkan sebagian organisasi Islam telah mencoba memanfaatkan momentum itu tidak sebatas seremoni dan haflah belaka, tetapi juga untuk melakukan amal-amal kebajikan seperti bakti sosial, santunan kepada fakir miskin, pameran produk Islam, pentas seni dan kegiatan lain yang lebih menyentuh persoalan masyarakat.

Kembali kepada hukum merayakan maulid Nabi SAW, apakah termasuk bid`ah atau bukan?

Memang secara umum para ulama salaf menganggap perbuatan ini termasuk bid`ah. Karena tidak pernah diperintahkan oleh Rasulullah saw dan tidak pernah dicontohkan oleh para shahabat seperti perayaan tetapi termasuk bid’ah hasanah (sesuatu yang baik), Seperti Rasulullah SAW merayakan kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari kelahirannya, yaitu setia hari Senin Nabi SAW berpuasa untuk mensyukuri kelahiran dan awal penerimaan wahyunya.

عَنْ أَبِيْ قَتَادَةَ الأَنْصَارِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْإِثْنَيْنِ فَقَالَ” : فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ . رواه مسلم

“Dari Abi Qotadah al-Anshori RA sesungguhnya Rasulullah SAW pernah ditanya mengenai puasa hari senin. Rasulullah SAW menjawab: Pada hari itu aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.” (H.R. Muslim)

Kita dianjurkan untuk bergembira atas rahmat dan karunia Allah SWT kepada kita. Termasuk kelahiran Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat kepada alam semesta. Allah SWT berfirman:

قُلْ بِفَضْلِ اللّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُواْ هُوَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Katakanlah: ‘Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.’ ” (QS.Yunus:58).

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari. Hadits itu menerangkan bahwa pada setiap hari senin, Abu Lahab diringankan siksanya di Neraka dibandingkan dengan hari-hari lainnya. Hal itu dikarenakan bahwa saat Rasulullah saw lahir, dia sangat gembira menyambut kelahirannya sampai-sampai dia merasa perlu membebaskan (memerdekakan) budaknya yang bernama Tsuwaibatuh Al-Aslamiyah.

Jika Abu Lahab yang non-muslim dan Al-Qur’an jelas mencelanya, diringankan siksanya lantaran ungkapan kegembiraan atas kelahiran Rasulullah SAW, maka bagaimana dengan orang yang beragama Islam yang gembira dengan kelahiran Rasulullah SAW?

HM Cholil Nafis MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il (LBM) PBNU

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

Perayaan Maulid Nabi dan Kontroversi Ma'na Bid’ah

Peryataan bahwa perayaan maulid Nabi adalah amalan bid'ah adalah peryataan sangat tidak tepat, karena bid'ah adalah sesuatu yang baru atau diada-adakan dalam Islam yang tidak ada landasan sama sekali dari dari Al-Qur'an dan as-Sunah. Adapun maulid walaupun suatu yang baru di dalam Islam akan tetapi memiliki landasan dari Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pada maulid Nabi di dalamya banyak sekali nilai ketaatan, seperti: sikap syukur, membaca dan mendengarkan bacaan Al-Quran, bersodaqoh, mendengarkan mauidhoh hasanah atau menuntut ilmu, mendengarkan kembali sejarah dan keteladanan Nabi, dan membaca sholawat yang kesemuanya telah dimaklumi bersama bahwa hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama dan ada dalilnya di dalam Al-Qur'an dan as-Sunah.

Pengukhususan Waktu

Ada yang menyatakan bahwa menjadikan maulid dikatakan bid'ah adalah adanya pengkhususan (takhsis) dalam pelakanaan di dalam waktu tertentu, yaitu bulan Rabiul Awal yang hal itu tidak dikhususkan oleh syariat. Pernyataan ini sebenarnaya perlu di tinjau kembali, karena takhsis yang dilarang di dalam Islam ialah takhsis dengan cara meyakini atau menetapkan hukum suatu amal bahwa amal tersebut tidak boleh diamalkan kecuali hari-hari khusus dan pengkhususan tersebut tidak ada landasan dari syar'i sendiri(Dr Alawy bin Shihab, Intabih Dinuka fi Khotir: hal.27).

Hal ini berbeda dengan penempatan waktu perayaan maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal, karena orang yang melaksanakan maulid Nabi sama sekali tidak meyakini, apalagi menetapkan hukum bahwa maulid Nabi tidak boleh dilakukan kecuali bulan Robiul Awal, maulid Nabi bisa diadakan kapan saja, dengan bentuk acara yang berbeda selama ada nilai ketaatan dan tidak bercampur dengan maksiat.

Pengkhususan waktu maulid disini bukan kategori takhsis yang di larang syar'i tersebut, akan tetapi masuk kategori tartib (penertiban).

Pengkhususan waktu tertentu dalam beramal sholihah adalah diperbolehkan, Nabi Muhammad sendiri mengkhusukan hari tertentu untuk beribadah dan berziaroh ke masjid kuba, seperti diriwatkan Ibnu Umar bahwa Nabi Muhammad mendatangi masjid Kuba setiap hari Sabtu dengan jalan kaki atau dengan kendaraan dan sholat sholat dua rekaat di sana (HR Bukhari dan Muslim). Ibnu Hajar mengomentari hadis ini mengatakan: "Bahwa hadis ini disertai banyaknya riwayatnya menunjukan diperbolehkan mengkhususan sebagian hari-hari tertentu dengan amal-amal salihah dan dilakukan terus-menerus".(Fathul Bari 3: hal. 84)

Imam Nawawi juga berkata senada di dalam kitab Syarah Sahih Muslim. Para sahabat Anshor juga menghususkan waktu tertentu untuk berkumpul untuk bersama-sama mengingat nikmat Allah,( yaitu datangnya Nabi SAW) pada hari Jumat atau mereka menyebutnya Yaumul 'Urubah dan direstui Nabi.

Jadi dapat difahami, bahwa pengkhususan dalam jadwal Maulid, Isro' Mi'roj dan yang lainya hanyalah untuk penertiban acara-acara dengan memanfaatkan momen yang sesui, tanpa ada keyakinan apapun, hal ini seperti halnya penertiban atau pengkhususan waktu sekolah, penghususan kelas dan tingkatan sekolah yang kesemuanya tidak pernah dikhususkan oleh syariat, tapi hal ini diperbolehkan untuk ketertiban, dan umumnya tabiat manusia apabila kegiatan tidak terjadwal maka kegiatan tersebut akan mudah diremehkan dan akhirnya dilupakan atau ditinggalkan.

Acara maulid di luar bulan Rabiul Awal sebenarnya telah ada dari dahulu, seperti acara pembacaan kitab Dibagh wal Barjanji atau kitab-kitab yang berisi sholawat-sholawat yang lain yang diadakan satu minggu sekali di desa-desa dan pesantren, hal itu sebenarnya adalah kategori maulid, walaupun di Indonesia masyarakat tidak menyebutnya dengan maulid, dan jika kita berkeliling di negara-negara Islam maka kita akan menemukan bentuk acara dan waktu yang berbeda-beda dalam acara maulid Nabi, karena ekpresi syukur tidak hanya dalam satu waktu tapi harus terus menerus dan dapat berganti-ganti cara, selama ada nilai ketaatan dan tidak dengan jalan maksiat.

Semisal di Yaman, maulid diadakan setiap malam jumat yang berisi bacaan sholawat-sholawat Nabi dan ceramah agama dari para ulama untuk selalu meneladani Nabi. Penjadwalan maulid di bulan Rabiul Awal hanyalah murni budaya manusia, tidak ada kaitanya dengan syariat dan barang siapa yang meyakini bahwa acara maulid tidak boleh diadakan oleh syariat selain bulan Rabiul Awal maka kami sepakat keyakinan ini adalah bid'ah dholalah.

Tak Pernah Dilakukan Zaman Nabi dan Sohabat

Di antara orang yang mengatakan maulid adalah bid'ah adalah karena acara maulid tidak pernah ada di zaman Nabi, sahabat atau kurun salaf. Pendapat ini muncul dari orang yang tidak faham bagaimana cara mengeluarkan hukum(istimbat) dari Al-Quran dan as-Sunah. Sesuatu yang tidak dilakukan Nabi atau Sahabat –dalam term ulama usul fiqih disebut at-tark – dan tidak ada keterangan apakah hal tersebut diperintah atau dilarang maka menurut ulama ushul fiqih hal tersebut tidak bisa dijadikan dalil, baik untuk melarang atau mewajibkan.

Sebagaimana diketahui pengertian as-Sunah adalah perkatakaan, perbuatan dan persetujuan beliau. Adapun at-tark tidak masuk di dalamnya. Sesuatu yang ditinggalkan Nabi atau sohabat mempunyai banyak kemungkinan, sehingga tidak bisa langsung diputuskan hal itu adalah haram atau wajib. Disini akan saya sebutkan alasan-alasan kenapa Nabi meninggalkan sesuatu:

1. Nabi meniggalkan sesuatu karena hal tersebut sudah masuk di dalam ayat atau hadis yang maknanya umum, seperti sudah masuk dalam makna ayat: "Dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.''(QS Al-Haj: 77). Kebajikan maknanya adalah umum dan Nabi tidak menjelaskan semua secara rinci.

2. Nabi meninggalkan sesutu karena takut jika hal itu belai lakukan akan dikira umatnya bahwa hal itu adalah wajib dan akan memberatkan umatnya, seperti Nabi meninggalkan sholat tarawih berjamaah bersama sahabat karena khawatir akan dikira sholat terawih adalah wajib.

3. Nabi meninggalkan sesuatu karena takut akan merubah perasaan sahabat, seperti apa yang beliau katakan pada siti Aisyah: "Seaindainya bukan karena kaummu baru masuk Islam sungguh akan aku robohkan Ka'bah dan kemudian saya bangun kembali dengan asas Ibrahim as. Sungguh Quraiys telah membuat bangunan ka'bah menjadi pendek." (HR. Bukhori dan Muslim) Nabi meninggalkan untuk merekontrusi ka'bah karena menjaga hati mualaf ahli Mekah agar tidak terganggu.

4. Nabi meninggalkan sesuatu karena telah menjadi adatnya, seperti di dalam hadis: Nabi disuguhi biawak panggang kemudian Nabi mengulurkan tangannya untuk memakannya, maka ada yang berkata: "itu biawak!", maka Nabi menarik tangannya kembali, dan beliu ditanya: "apakah biawak itu haram? Nabi menjawab: "Tidak, saya belum pernah menemukannya di bumi kaumku, saya merasa jijik!" (QS. Bukhori dan Muslim) hadis ini menunjukan bahwa apa yang ditinggalkan Nabi setelah sebelumnya beliu terima hal itu tidak berarti hal itu adalah haram atau dilarang.

5. Nabi atau sahabat meninggalkan sesuatu karena melakukan yang lebih afdhol. Dan adanya yang lebih utama tidak menunjukan yang diutamai (mafdhul) adalah haram.dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain (untuk lebih luas lih. Syekh Abdullah al Ghomariy. Husnu Tafahum wad Dark limasalatit tark)

Dan Nabi bersabda:" Apa yang dihalalakan Allah di dalam kitab-Nya maka itu adalah halal, dan apa yang diharamkan adalah haram dan apa yang didiamkan maka itu adalah ampunan maka terimalah dari Allah ampunan-Nya dan Allah tidak pernah melupakan sesuatu, kemudian Nabi membaca:" dan tidaklah Tuhanmu lupa".(HR. Abu Dawud, Bazar dll.) dan Nabi juga bersabda: "Sesungguhnya Allah menetapkan kewajiban maka jangan enkau sia-siakan dan menetapkan batasan-batasan maka jangan kau melewatinya dan mengharamkan sesuatu maka jangan kau melanggarnya, dan dia mendiamkan sesuatu karena untuk menjadi rahmat bagi kamu tanpa melupakannya maka janganlah membahasnya".(HR.Daruqutnhi)

Dan Allah berfirman:"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya."(QS.Al Hasr:7) dan Allah tidak berfirman dan apa yang ditinggalknya maka tinggalkanlah.

Maka dapat disimpulkan bahwa "at-Tark" tidak memberi faidah hukum haram, dan alasan pengharaman maulid dengan alasan karena tidak dilakukan Nabi dan sahabat sama dengan berdalil dengan sesuatu yang tidak bisa dijadikan dalil!

Imam Suyuti menjawab peryataan orang yang mengatakan: "Saya tidak tahu bahwa maulid ada asalnya di Kitab dan Sunah" dengan jawaban: "Tidak mengetahui dalil bukan berarti dalil itu tidak ada", peryataannya Imam Suyutiy ini didasarkan karena beliau sendiri dan Ibnu Hajar al-Asqolaniy telah mampu mengeluarkan dalil-dalil maulid dari as-Sunah. (Syekh Ali Jum'ah. Al-Bayanul Qowim, hal.28)

Zarnuzi Ghufron
Ketua LMI-PCINU Yaman dan sekarang sedang belajar di Fakultas Syariah wal Qonun Univ Al-Ahgoff, Hadramaut, Yaman

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

FASAL TENTANG WASILAH DAN TAWASSUL (3)

Tawassul dengan Rasulullah SAW

Sewaktu masih hidup dan setelah wafat, tawassul pada Rasulullah itu disebutkan dalam beberapa ayat Al-Qur’an, misalnya, firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 64:

وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْظَلَمُوْااَنْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوااللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الَّرسُوْلُ لَوْ جَدُوااللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً

“Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka, kemudian mereka datang kepadamu (Muhammad), mereka meminta ampun kepada Allah dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, pasti mereka menjumpai Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”

Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa Allah SWT mengampuni dosa-dosa orang yang dhalim, disamping do’a mereka tetapi ada juga wasilah (do’anya) Rasulullah SAW.

Soal tawassul seperti itu, disebutkan pula dalam tafsir Ibnu Katsir juz I;

قَالَ الإِمَامُ اْلحَافِظُ السَّيْخُ عِمَادُالدِيْنِ كَثِيْر ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمُ السَّيْخُ أَبُوْ مَنْصُوْرٍالصَّبَاغُ فِىكِتَاِبهِ الشَّامِلِ اْلحِكَايَةَ اَلمَشْهُوْرَةَ عَنِ اْلعَتَبِىِّ قَالَ: كُنْتُ جَالِساً عِنْدَ قَبْرِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاَء اَعْرَابِىٌّ فَقَالَ: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ يَارَسُوْلَ اللهِ َسمِعْتُ اللهَ يَقُوْلُوْ وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَلَمُوْااَ نْفُسَهُمْ جَاءُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوااللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوْجَدُوااللهَ تَوَّاباً رَحِيْماً. وَقَدْجِئْتُكَ مُسْتَغْفِرًالِذَنْبِى مُسْتَشْفِعاً بِكَ اِلىَ رَبِّى ثُمَّ أَنْشَدَ ثُمَ انْصَرَفَ اْلأَعْرَاِبىُّ فَغَلَبَتْنىِ عَيْنىِ فَرَأَيْتُ النَبِىُّ فِى النَّوْمِ فَقَالَ يَاعَتَبِىُّ اْلحَقِّ اْلأَعْرَاِبىُّ فَبَشِّرْهُ اَنَّ اللهَ قَدْ غَفَرَلَهُ.

“Berkata Al-Imam Al-Hafidz As-Syekh Imaduddin Ibnu Katsir, menyebutkan segolongan ulama’ di antaranya As-Syekh Abu Manshur As-Shibagh dalam kitabnya As-Syaamil dari Al-Ataby; berkata: saya duduk di kuburan Nabi SAW maka datanglah seorang Badui dan ia berkata: Assalamu’alaika ya Rasulullah! Saya telah mendengar Allah berfirman; Walaupun sesungguhnya mereka telah berbuat dhalim terhadap diri mereka kemudian datang kepadamu dan mereka meminta ampun kepada Allah, dan Rasul memintakan ampun untuk mereka, mereka pasti mendapatkan Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang; dan saya telah datang kepadamu (kekuburan Rssulullah) dengan meminta ampun akan dosaku dan memohon syafa’at dengan wasilahmu (Nabi) kepada Allah, kemudian ia membaca syair memuji Rasulullah, kemudian orang Badui tadi pergi, maka saya ketiduran dan melihat Rasulullah dalam tidur saya, beliau bersabda: Wahai Ataby temuilah orang Badui tadi sampaikan kabar gembira bahwa Allah telah mengampuni dosanya.”

Dalam riwayat di atas dipaparkan bahwa Ataby diampuni dosanya dengan tawassul kepada Nabi yang telah wafat. Riwayat di atas diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam
لاءيضاح فىمناسك الحج للا مام النووى halaman 485

Selanjutnya, diriwayatkan juga oleh Abu Muhammad Ibnu Quddamah dalam kitabnya Al-Mughni juz. III. Riwayat Al-Ataby ini banyak sekali diriwayatkan oleh para Ulama’ terkemuka.

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

Tadarus Al-Qur'an di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan adalah bulan penuh berkah, karena di dalamnya terkandung beribu kebaikan. Tidak heran pada bulan ini semua umat Islam berlomba-lomba mencari kebaikan, termasuk tadarus (membaca) Alquran. Pada malam hari Ramadlan, masjid-masjid marak dengan bacaan Al-Qur'an secara silih berganti. Tidak jarang, bacaan tersebut disambungkan pada pengeras suara. Semua itu dilakukan dengan satu harapan: berkah Ramadlan yang telah dijanjikan Allah SWT.

Bagaimana hukum melakukan tadarus tersebut ?

Pada bulan Ramadhan, pahala amal kebaikan akan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Abu Hurairah RA meriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memeriahkan bulan Ramadlan dengan ibadah/qiyamu ramadhan; (dan dilakukan) dengan penuh keimanan dan keikhlasan, maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu”. (Shahih Bukhari, h.1870)

Al-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam menjelaskan, qiyam ramadhan (dalam hadist diatas) adalah mengisi dan memeriahkan malam Ramadlan dengan melakukan shalat dan membaca Al-Qur'an. (Subulus Salam Juz II, h. 173)

Membaca Al-Quran pada malam hari di bulan Ramadhan sangat dianjurkan oleh agama. Kemudian bagaimana jika membaca Al-Quran secara bersama-sama, yang satu membaca dan yang lain menyimak?

Syaikh Nawawi Al-Bantani menjawab, termasuk membaca Al-Quran adalah mudarasah, yang sering disebut dengan idarah. Yakni seseorang membaca pada orang lain. Kemudian orang lain itu membaca pada dirinya. Yang seperti itu tetap sunah.” (Nihayah al-Zain, 194-195)

Dapat disimpulkan bahwa tadarus Al-Quran yang dilakukan di masjid-masjid pada bulan Ramadhan tidak bertentangan dengan agama dan merupakan perbuatan yang sangat baik, karena sesuai dengan tuntunan Rasul. Jika dirasa perlu menggunakan pengeras suara agar menambah syiar Islam, maka hendaklah diupayakan sesuai dengan keperluan dan jangan sampai menganggu pada lingkungannya.

(Alif **dikutip dari buku Fiqh Tradisionalis karya KH. Muhyidin Abdussomad h. 183)

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

Fasal tentang Bid'ah (2)

Jelek dan sesat paralel tidak bertentangan, hal ini terjadi pula dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah membuang sifat kapal dalam firman-Nya :

وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْبَا (الكهف: 79)
“Di belakang mereka ada raja yang akan merampas semua kapal dengan paksa”. (Al-Kahfi : 79).

Dalam ayat tersebut Allah SWT tidak menyebutkan kapal baik apakah kapal jelek; karena yang jelek tidak akan diambil oleh raja. Maka lafadh كل سفينة sama dengan كل بد عة tidak disebutkan sifatnya, walaupun pasti punya sifat, ialah kapal yang baik كل سفينة حسنة .

Selain itu, ada pendapat lain tentang bid’ah dari Syaikh Zaruq, seperti dikutip Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari. Menurutnya, ada tiga norma untuk menentukan, apakah perkara baru dalam urusan agama itu disebut bid’ah atau tidak: Pertama, jika perkara baru itu didukung oleh sebagian besar syari’at dan sumbernya, maka perkara tersebut bukan merupakan bid’ah, akan tetapi jika tidak didukung sama sekali dari segala sudut, maka perkara tersebut batil dan sesat.

Kedua, diukur dengan kaidah-kaidah yang digunakan para imam dan generasi salaf yang telah mempraktikkan ajaran sunnah. Jika perkara baru tersebut bertentangan dengan perbuatan para ulama, maka dikategorikan sebagai bid’ah. Jika para ulama masih berselisih pendapat mengenai mana yang dianggap ajaran ushul (inti) dan mana yang furu’ (cabang), maka harus dikembalikan pada ajaran ushul dan dalil yang mendukungnya.

Ketiga, setiap perbuatan ditakar dengan timbangan hukum. Adapun rincian hukum dalam syara’ ada enam, yakni wajib, sunah, haram, makruh, khilaful aula, dan mubah. Setiap hal yang termasuk dalam salah satu hukum itu, berarti bias diidentifikasi dengan status hukum tersebut. Tetapi, jika tidak demikian, maka hal itu bisa dianggap bid’ah.

Syeikh Zaruq membagi bid’ah dalam tiga macam; pertama, bid’ah Sharihah (yang jelas dan terang). Yaitu bid’ah yang dipastikan tidak memiliki dasar syar’i, seperti wajib, sunnah, makruh atau yang lainnya. Menjalankan bid’ah ini berarti mematikan tradisi dan menghancurkan kebenaran. Jenis bid’ah ini merupakan bid’ah paling jelek. Meski bid’ah ini memiliki seribu sandaran dari hukum-hukum asal ataupun furu’, tetapi tetap tidak ada pengaruhnya. Kedua, bid’ah idlafiyah (relasional), yakni bid’ah yang disandarkan pada suatu praktik tertentu. Seandainya-pun, praktik itu telah terbebas dari unsur bid’ah tersebut, maka tidak boleh memperdebatkan apakah praktik tersebut digolongkan sebagai sunnah atau bukan bid’ah.

Ketiga, bid’ah khilafi (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua sandaran utama yang sama-sama kuat argumentasinya. Maksudnya, dari satu sandaran utama tersebut, bagi yang cenderung mengatakan itu termasuk sunnah, maka bukan bid’ah. Tetapi, bagi yang melihat dengan sandaran utama itu termasuk bid’ah, maka berarti tidak termasuk sunnah, seperti soal dzikir berjama’ah atau soal administrasi.

Hukum bid’ah menurut Ibnu Abd Salam, seperti dinukil Hadratusy Syeikh dalam kitab Risalah Ahlussunnah Waljama’ah, ada lima macam: pertama, bid’ah yang hukumnya wajib, yakni melaksanakan sesuatu yang tidak pernah dipraktekkan Rasulullah SAW, misalnya mempelajari ilmu Nahwu atau mengkaji kata-kata asing (garib) yang bisa membantu pada pemahaman syari’ah.

Kedua, bid’ah yang hukumnya haram, seperti aliran Qadariyah, Jabariyyah dan Mujassimah. Ketiga, bid’ah yang hukumnya sunnah, seperti membangun pemondokan, madrasah (sekolah), dan semua hal baik yang tidak pernah ada pada periode awal. Keempat, bid’ah yang hukumnya makruh, seperti menghiasi masjid secara berlebihan atau menyobek-nyobek mushaf. Kelima, bid’ah yang hukumnya mubah, seperti berjabat tangan seusai shalat Shubuh maupun Ashar, menggunakan tempat makan dan minum yang berukuran lebar, menggunakan ukuran baju yang longgar, dan hal yang serupa.

Dengan penjelasan bid’ah seperti di atas, Hadratusy Syeikh kemudian menyatakan, bahwa memakai tasbih, melafazhkan niat shalat, tahlilan untuk mayyit dengan syarat tidak ada sesuatu yang menghalanginya, ziarah kubur, dan semacamnya, itu semua bukanlah bid’ah yang sesat. Adapun praktek-praktek, seperti pungutan di pasar-pasar malam, main dadu dan lain-lainnya merupakan bid’ah yang tidak baik.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

Fasal tentang Bid'ah (1)

Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab ‘Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”.

Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya (furu’).

Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah S.W.T.:

بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).

Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut;

اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ : مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ
“Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”.

Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata :

نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ
“Sebagus bid’ah itu ialah ini”.

Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah.

مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج: 5ص: 76.
“Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”.

Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.

Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.

Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”.

Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan: Kemungkinan pertama :
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.

Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر

“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.

--(KH. A.N. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU)

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

4 Madzhab dalam Ilmu Fiqih

Ahlussunnah wal Jama’ah berhaluan salah satu Madzhab yang empat. Seluruh ummat Islam di dunia dan para ulamanya telah mengakui bahwa Imam yang empat ialah Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Ibnu Hambal telah memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid. Hal itu dikarenakan ilmu, amal dan akhlaq yang dimiliki oleh mereka. Maka ahli fiqih memfatwakan bagi umat Islam wajib mengikuti salah satu madzhab yang empat tersebut.

Madzhab Hanafi

Dinamakan Hanafi, karena pendirinya Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir pada tahun 80 H di Kufah dan wafat pada tahun 150 H. Madzhab ini dikenal madzhab Ahli Qiyas (akal) karena hadits yang sampai ke Irak sedikit, sehingga beliau banyak mempergunakan Qiyas.

Beliau termasuk ulama yang cerdas, pengasih dan ahli tahajud dan fasih membaca Al-Qur’an. Beliau ditawari untuk menjadi hakim pada zaman bani Umayyah yang terakhir, tetapi beliau menolak.

Madzhab ini berkembang karena menjadi madzhab pemerintah pada saat Khalifah Harun Al-Rasyid. Kemudian pada masa pemerintahan Abu Ja’far Al-Manshur beliau diminta kembali untuk menjadi Hakim tetapi beliau menolak, dan memilih hidup berdagang, madzhab ini lahir di Kufah.

Madzhab Maliki

Pendirinya adalah Al-Imam Maliki bin Anas Al-Ashbahy. Ia dilahirkan di Madinah pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Beliau sebagai ahli hadits di Madinah dimana Rasulullah SAW hidup di kota tersebut.

Madzhab ini dikenal dengan madzhab Ahli Hadits, bahkan beliau mengutamakan perbuatan ahli Madinah daripada Khabaril Wahid (Hadits yang diriwayatkan oleh perorangan). Karena bagi beliau mustahil ahli Madinah akan berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perbuatan Rasul, beliau lebih banyak menitikberatkan kepada hadits, karena menurut beliau perbuatan ahli Madinah termasuk hadits mutawatir.

Madzhab ini lahir di Madinah kemudian berkembang ke negara lain khususnya Maroko. Beliau sangat hormat kepada Rasulullah dan cinta, sehingga beliau tidak pernah naik unta di kota Madinah karena hormat kepada makam Rasul.

Madzhab Syafi’i

Tokoh utamanya adalah Al-Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i Al-Quraisyi. Beliau dilahirkan di Ghuzzah pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H.

Beliau belajar kepada Imam Malik yang dikenal dengan madzhabul hadits, kemudian beliau pergi ke Irak dan belajar dari ulama Irak yang dikenal sebagai madzhabul qiyas. Beliau berikhtiar menyatukan madzhab terpadu yaitu madzhab hadits dan madzhab qiyas. Itulah keistimewaan madzhab Syafi’i.

Di antara kelebihan asy-Syafi’i adalah beliau hafal Al-Qur’an umur 7 tahun, pandai diskusi dan selalu menonjol. Madzhab ini lahir di Mesir kemudian berkembang ke negeri-negeri lain.

Madzhab Hanbali

Dinamakan Hanbali, karena pendirinya Al-Imam Ahmad bin Hanbal As-Syaebani, lahir di Baghdad Th 164 H dan wafat Th 248 H. Beliau adalah murid Imam Syafi’i yang paling istimewa dan tidak pernah pisah sampai Imam Syafi’i pergi ke Mesir.

Menurut beliau hadits dla’if dapat dipergunakan untuk perbuatan-perbuatan yang afdal (fadlailul a'mal) bukan untuk menentukan hukum. Beliau tidak mengaku adanya Ijma’ setelah sahabat karena ulama sangat banyak dan tersebar luas.

KH A Nuril Huda
Ketua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)

Sumber: http://www.nu.or.id/page.php

Berdzikir dengan Pengeras Suara

Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan total kepada Allah SWT.

Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.

Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.

Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim)

Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan."

Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:

وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنََّ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ"

“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).

Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.

Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat. Wallahu a’lam bis shawab.

H.M.Cholil Nafis, MA.
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

Ziarah Kubur bagi Wanita

Di antara ulama yang mengatakan bahwa ziarah kubur bagi wanita dilarang adalah Al-Imam Muhammad bin Muhammad Al-Abdary Al-Maliki, terkenal dengan sebutan “Ibnu al-Hajj”. Ia berkata:

“Dan selayaknya baginya (laki-laki) untuk melarang wanita-wanita untuk keluar ziarah kubur meskipun wanita-wanita tersebut memiliki makam (karena si mayat adalah keluarga atau kerabatnya) sebab As-Sunnah telah menghukumi/menetapkan bahwa mereka (para wanita) tidak diperkenankan untuk keluar rumah untuk ziarah kubur”. (Lihat Madkhal As-Syar‘i Asy-syarif 1/250)

Sementara ulama yang menyatakan ziarah kubur bagi wanita boleh antara lain berpedoman pada hadits riwayat Imam Al-Bukhari meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik RA bahwa:

Rasulullah SAW melewati seorang wanita yang sedang berada di sebuah kuburan, sambil menangis. Maka Rasulullah SAW berkata padanya: “Bertaqwalah engkau kepada Allah SWT. dan bersabarlah.” Maka berkata wanita itu : “Menjauhlah dariku, engkau belum pernah tertimpa musibah seperti yang menimpaku”, dan wanita itu belum mengenal Nabi SAW, lalu disampaikan padanya bahwa dia itu adalah Rasulullah SAW, ketika itu, ia bagai ditimpa perasaan seperti akan mati (karena merasa takut dan bersalah).

Kemudian wanita itu mendatangi pintu (rumah) Rasulullah SAW dan dia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku (pada waktu itu) belum mengenalmu,” maka Nabi SAW berkata: Sesungguhnya yang dinamakan sabar itu adalah ketika (bersabar) pada pukulan (cobaan) pertama.”

Al-Bukhari memberi terjemah (judul bab) untuk hadits ini dengan judul “Bab tentang ziarah kubur,” menunjukkan bahwa beliau tidak membedakan antara laki-laki dan wanita dalam berziarah kubur. (Lihat Shohih Al-Bukhari 3/110-116).

Al-Imam Al-Qurthubi berkata : “Laknat yang disebutkan di dalam hadits adalah bagi wanita-wanita yang memperbanyak ziarah karena bentuk lafazhnya menunjukkan mubalaghah (berlebih-lebihan)”.

Dan sebabnya mungkin karena hal itu akan membawa wanita kepada penyelewengan hak suami, berhias diri belebihan dan akan memunculkan teriakan, erangan, raungan dan semisalnya.

Jika semua hal tersebut tidak terjadi, maka tidak ada yang bisa mencegah untuk memberikan izin kepada para wanita untuk ziarah kubur, sebab mengingat mati diperlukan bagi laki-laki maupun wanita”. (Lihat: Al Jami’ li Ahkamul Qur`an).

Sebenarnya, hukum ziarah kubur bagi laki-laki dan perempuan adalah sunnah. Sebab hikmah ziarah kubur adalah untuk mendapat pelajaran dan ingat akhirat serta mendoakan ahli kubur agar mendapat ampunan dari Allah SWT. Ziarah kubur yang dilarang adalah pemujaan, menyembah dan meminta-minta kepada penghuni kubur.

Adapun hadits yang menyatakan larangan ziarah kubur bagi wanita itu telah dicabut dan hukum berziarah baik laki-laki maupun perempuan adalah sunnah. Dalam kitab Sunan at-Tirmidzi disebutkan:

“Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa hadits itu (larangan ziarah kubur bagi perempuan) diucapkan sebelum Nabi SAW membolehkan untuk melakukan ziarah kubur. Setelah Rasulullah saw membolehkannya, laki-laki dan perempuan tercakup dalam kebolehan itu”. (Sunan At-TIrmidzi: 976)

وَسُئِلَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنْ زِيَارَةِ قُبُوْرِالأَوْلِيَآءِ فِيْ زَمَنٍ مُعَيَّنٍ مَعَ الرِّحْلَةِ إِلَيْهَا... فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ ِزيَارَةِ قُبُوْرِالأَوْلِيَاءِ قُرْبَةٌ مُسْتَحَبَّةٌ وَكَذَا الرِّحْلَةُ إِلَيْهَا...

“Ibnu Hajar Al-Haitami pernah ditanya tentang ziarah ke makam para wali, pada waktu tertentu dengan melakukan perjalanan khusus ke makam mereka. Beliau menjawab: “berziarah ke makam para wali adalah ibadah yang disunnahkan. Demikian pula dengan perjalanan ke makam mereka.” (Al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz II : 24).


HM Cholil Nafis, MA
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php

Minggu, 10 Oktober 2010

Mengucapkan “Sayyidina”

Kata-kata “sayyidina” atau ”tuan” atau “yang mulia” seringkali digunakan oleh kaum muslimin, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Hal itu termasuk amalan yang sangat utama, karena merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Syeikh Ibrahim bin Muhammad al-Bajuri menyatakan:

الأوْلَى ذِكْرُالسَّيِّادَةِ لِأنَّ اْلأَفْضَلَ سُلُوْكُ اْلأَدَ بِ

“Yang lebih utama adalah mengucapkan sayyidina (sebelum nama Nabi SAW), karena hal yang lebih utama bersopan santun (kepada Beliau).” (Hasyisyah al-Bajuri, juz I, hal 156).

Pendapat ini didasarkan pada hadits Nabi SAW:

عن أبي هريرةقا ل , قا ل ر سو ل الله صلي الله عليه وسلم أنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ وَأوَّلُ مَنْ يُنْسَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأوَّلُ شَافعٍ وأول مُشَافِعٍ


“Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya adalah sayyid (penghulu) anak adam pada hari kiamat. Orang pertama yang bangkit dari kubur, orang yang pertama memberikan syafaa’at dan orang yang pertama kali diberi hak untuk membrikan syafa’at.” (Shahih Muslim, 4223).

Hadits ini menyatakan bahwa nabi SAW menjadi sayyid di akhirat. Namun bukan berarti Nabi Muhammad SAW menjadi sayyid hanya pada hari kiamat saja. Bahkan beliau SAW menjadi sayyid manusia didunia dan akhirat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani:

“Kata sayyidina ini tidak hanya tertentu untuk Nabi Muhammad SAW di hari kiamat saja, sebagaimana yang dipahami oleh sebagian orang dari beberapa riwayat hadits 'saya adalah sayyidnya anak cucu adam di hari kiamat.' Tapi Nabi SAW menjadi sayyid keturunan ‘Adam di dunia dan akhirat”. (dalam kitabnya Manhaj as-Salafi fi Fahmin Nushush bainan Nazhariyyah wat Tathbiq, 169)

Ini sebagai indikasi bahwa Nabi SAW membolehkan memanggil beliau dengan sayyidina. Karena memang kenyataannya begitu. Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan kita umat manusia yang harus kita hormati sepanjang masa.

Lalu bagaimana dengan “hadits” yang menjelaskan larangan mengucapkan sayyidina di dalam shalat?

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ

“Janganlah kalian mengucapakan sayyidina kepadaku di dalam shalat”

Ungkapan ini memang diklaim oleh sebagian golongan sebagai hadits Nabi SAW. Sehingga mereka mengatakan bahwa menambah kata sayyidina di depan nama Nabi Muhammad SAW adalah bid’ah dhalalah, bid’ah yang tidak baik.

Akan tetapi ungkapan ini masih diragukan kebenarannya. Sebab secara gramatika bahasa Arab, susunan kata-katanya ada yang tidak singkron. Dalam bahasa Arab tidak dikatakan سَادَ- يَسِيْدُ , akan tetapi سَادَ -يَسُوْدُ , Sehingga tidak bisa dikatakan لَاتُسَيِّدُوْنِي

Oleh karena itu, jika ungkapan itu disebut hadits, maka tergolong hadits maudhu’. Yakni hadits palsu, bukan sabda Nabi, karena tidak mungkin Nabi SAW keliru dalam menyusun kata-kata Arab. Konsekuensinya, hadits itu tidak bisa dijadikan dalil untuk melarang mengucapkan sayyidina dalam shalat?

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa membaca sayyidina ketika membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW boleh-boleh saja, bahkan dianjurkan. Demikian pula ketika membaca tasyahud di dalam shalat.


KH Muhyiddin Abdusshomad
Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Islam (Nuris), Ketua PCNU Jember

Fasal Tentang I'tikaf

I'tikaf artinya berdiam di dalam masjid dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah SWT. Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pada setiap bulan Ramadhan selama 10 hari yang terakhir, selalu melaksanakan i'tikaf. Bahkan secara khusus --pada tahun wafatnya--, beliau beri'tikaf pada bulan Ramadhan itu selama 20 hari, sebagaimana termaktub dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Ibu Hurairah.

Pelaksanaan i 'tikaf oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat selama 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan itu erat kaitannya dengan Lailatul Qadar. Dalam artian, Nabi dan para shahabat beri'tikaf atau bertekun ibadah untuk berjaga-jaga ketika turun Lailatul Qadar.

Sedikit pun tidak disangsikan lagi bahwa, tempat pelaksanaan i'tikaf itu adalah masjid. Namun, masalahnya adalah masjid yang mana? Sementara Rasulullah SAW melaksanakan i'tikaf di masjidnya sendiri, yakni masjid Nabawi di Madinah. Oleh sebab itulah, ada banyak pendapat mengenai dimana seharusnya i'tikaf itu dilaksanakan. Lantaran pengertian masjid tempat i 'tikaf yang ditunjukkan Al Qur'an dianggap masih relatif.

Firman Allah SWT:

وَأنْتُمْ عَاكِفُوْنَ فِي الْمَسَاجِدِ

"Sedangkan kamu beri'tikaf dalam masjid." (QS Al Baqarah 2: 187)

Pendapat pertama; i'tikaf itu hanya dapat dilaksanakan di 3 masjid. Yakni Masjidil Haram di Makkah, Masjid Nabawi di Madinah, dan Masjidil Aqsha di Palestina. Dimana pendapat ini didasarkan pada hadits yang menjelaskan bahwa, dilarang atau tidak akan diberangkatkan kendaraan kecuali menuju 3 masjid tersebut di atas.

Pendapat kedua, menyatakan; i'tikaf itu harus dilaksanakan di Masjid Jami'. Yakni masjid yang biasa digunakan untuk mendirikan shalat 5 waktu berjamaah dan ibadah Jum'at. Pendapat ini mungkin tepat, jika dikaitkan bahwa i'tikaf yang dilaksanakan oleh Rasulullah SAW itu di masjidnya sendiri yang termasuk dalam kategori Masjid Jami'.

Menurut pendapat kami, jika kita perhatikan Al-Baqarah ayat 187 sebagaimana tersebut di atas, nampak jelas bahwa pengertian masjid yang dinyatakan itu sifatnya umum. Lantaran tidak diikuti dengan satupun nama masjid tertentu. Baik dari ketiga masjid sebagaimana pendapat di atas, maupun selain Masjid Jami'.

Dengan demikian, mengacu pada lahirnya ayat ini, dapat diambil kesimpulan bahwa; i'tikaf dapat dilaksanakan di Masjid Jami' dan lainnya seperti mushalla misalnya; Walaupun memang, i'tikaf Ramadhan itu lebih baik dilaksanakan di Masjid Jami', supaya ketika harus melaksanakan kewajiban ibadah Jum'at misalnya, ia tak perlu lagi keluar dari masjid tempat i'tikafnya menuiu Masiid Jami'.

Apakah yang Dikerjakan Ketika Beri'tikaf?

Sesuai dengan tujuan i'tikaf yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka orang yang sedang i'tikaf hendaknya memperbanyak amal ibadah. Misalnya, dengan cara; shalat sunnat, membaca Al-Qur'an, bertasbih, bertahmid, bertahlil, bertakbir, istighfar, shalawat Nabi, serta memperbanyak do 'a dan tafakkur. Begitu pula dapat dengan cara melakukan kebajikan lainnya, seperti; mempelajari tafsir, hadits, dan atau ilmu-ilmu agama Islam lainnya. Orang yang sedang beri'tikaf hendaknya menghindari segala hal yang tidak ada manfaatnya, baik dalam perbuatan maupun ucapan.

Sabda Rasulullah SAW bersabda:

مِنْ حُسْنِ إسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَ يَعْنِيْهِ

"Di antara kebaikan seorang Islam adalah, meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya." (HR. Tirmitzi dan Ibnu Majah, dari Abu Bashrah)

Daam konteks i'tikaf, termasuk dalam hal yang tidak bermanfaat adalah, berdiam diri dengan sia-sia. Jadi, bukan berdiam karena tafakkur.

Orang yang sedang i'tikaf, wajib melaksanakan segala sesuatu yang merupakan unsur atau hakikat dari i'tikaf itu sendiri. Lantaran unsur-unsur itulah yang disebut sebagai rukun. Niat misalnya, yang wajib dilaksanakan untuk setiap ibadah, juga wajib dilaksanakan ketika i'tikaf. Karena petunjuk secara umum dalam suatu hadits telah jelas, bahwa setiap ibadah wajib disertai dengan niat.
Selain itu, orang yang sedang beri'tikaf juga wajib tinggal di dalam masjid, lantaran tinggal di dalam masjid merupakan unsur penentu untuk dapat disebut i'tikaf.

Orang-orang yang sedang i'tikaf juga wajib menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya. Seperti, bersetubuh dan keluar dari masjid tanpa alasan yang sah.


Dapatkah I'tikaf Dilaksanakan Setiap Saat?

Sejauh yang kami dapat dari keterangan berbagai hadits, i'tikaf itu dilaksanakan oleh Rasulullah SAW hanya pada bulan Ramadhan. Dan walaupun pernah dilaksanakan pula olehnya pada 10 hari pertama bulan Syawal, hanya sebagai pengganti i'tikaf Rama¬dhan, yang gagallantaran satu dan lain hal.

Maka boleh jadi, dengan hanya mengambil kesimpulan dari berbagai hadits yang mengungkap tentang i'tikaf Ramadhan, muncul suatu pendapat yang menyatakan bahwa, i'tikaf tidak disunnatkan secara mutlak sebagai suatu bentuk ibadah yang dapat dilaksanakan setiap saat. Pendapat ini, memang cukup beralasan.

Namun menurut kami, jika kita berbicara mengenai perintah melaksanakan nadzar i'tikaf, sebagaimana perintah Rasulullah SAW kepada 'Umar bin Khattab untuk memenuhi nadzar i'tikafnya, maka di dalamnya nampak jelas terkandung pengertian bahwa i'tikaf berarti suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT.

Atau dengan kata lain, i'tikaf adalah suatu ibadah yang dapat dilaksanakan setiap waktu, jika memang kita kehendaki. Seandainya i'tikaf tidak termasuk sebagai suatu bentuk ketaatan kepada-Nya, maka tentu saja Umar bin Khattab tidak akan diperintah untuk memenuhi nadzar i'tikafnya.

Sabda Rasulullah SAW:

مَنْ نَذَرَ أنْ يُطِيْعَ اللهَ فَلْيُطِيْعُهُ

"Siapapun yang telah bematzar akan berbuat taat kepadaAllah, maka laksanakanlah natzar tersebut." (HR. Bukhari)

Selain itu --sebagai tambahan-- terdapat beberapa hadits yang menunjukkan larangan melaksanakan natzar yang tidak membawa nilai kebaikan atau ketaatan kepada Allah SWT sebagai ibadah. Dengan demikian, nampak semakin jelas bahwa i'tikaf merupakan suatu bentuk ibadah yang secara mutlak dapat dilaksanakan setiap saat, dengan mendapat pahala meskipun hanya sesaat.


KH Arwani Faishal
Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Mas’ail PBNU

Sumber : http://www.nu.or.id/page.php